Saturday, December 16, 2006

Pengantar Menuju Migrasi Para Burung [Heru Hikayat]

Pengantar Menuju Migrasi Para BurungPrawacana (Into The Discourse)
oleh Heru Hikayat

Performance art, kita tahu, berada pada tepian yang kritis. Bukan saja sesuatu seperti dinyatakan kredo “menihilkan batas seni dengan kehidupan”, melainkan juga demi hal itu ia bisa diposisikan menegasi semua konvensi seni yang sudah dianggap mapan. Dari sudut pandang sosiologis mudah ditunjukkan bagaimana seni dan segala produk kebudayaan tidak sungguh-sungguh mandiri melainkan terkait dengan faktor ekonomi, sosial, lalu di ujung-ujungnya dengan kekuasaan. Dengan begitu seni semacam performance art sangat gandrung berurusan dengan dimensi politis. Bukan politik dalam pengertian makro, melainkan politik dalam kebudayaan itu sendiri.
Di Barat sudah umum diketahui tentang pemunculan performance art yang terkait dengan rasa frustasi umum terhadap proyek modernisasi dengan janji pencerahannya. Jika kita sepakat bahwa proyek besar modern memang menuju pada keseragaman universal, maka wilayah non-Barat pun berbagi kesamaan dalam hal menghadapi dampak modernisasi. Seni kontemporer di negara dunia ketiga kemudian membuktikan dirinya berbagi semangat dengan gerakan-gerakan kritis meresistensi dampak buruk modernisasi. Dengan kata lain, seni macam ini, alih-alih mengklaim dirinya netral––a la semangat modern––justru terang-terangan menyatakan keberpihakannya.
Dalam kaitannya dengan resistensi, ada satu hal penting yang justru diambil dari jantung prinsip seni modern, yakni: individualitas. Melalui praktek seni, setiap orang diajak lebih jauh menyadari potensi dirinya, membuka keleluasaan sebagai individu yang aktif memberi kontribusi pada dinamika kebudayaan. Dalam semangat seni kontemporer metoda partisipatory ini tentu terus dirayakan. Secara khusus performance art, melalui “bentuknya” yang berupa peristiwa menghela metoda partisipatory seterbuka-terbukanya.




Latar (The Setting)
Kini ada beberapa perubahan yang jelas harus kita perhitungkan. Pertama bahwa performance art sudah diterima sebagai medium sah dalam seni. Sebagai genre, kita lihat pada maraknya kegiatan seni internasional di kawasan Asia-Pasifik tahun 1980an dan 1990an, performance art menjadi menu favorit selain instalasi. Dengan demikian, bagi bangsa semacam Indonesia, performance art punya jaminan tersendiri: di satu sisi ia efektif merefleksikan realitas yang urgen untuk dikemukakan, di sisi lain ia mendongkrak daya saing di tingkat internasional. Hal-hal semacam nilai-nilai lokal, menemukan artikulasinya secara tersendiri disini.
Apa yang secara prinsipil begitu penting dari fakta ini? Kita ambil perbandingan dengan seni konseptual (conceptual art): diawal pemunculannya ia ngotot menggerogoti konsepsi-konsepsi yang dilumrahkan begitu saja (taken for granted) dalam seni, seperti mekanisme museum dan pasar, kemudian sejarah membuktikan bahwa ia juga diserap oleh mekanisme itu. Kesimpulan ini bisa ditarik karena seni konseptual sebagai gerakan sangat efisien. Ia dengan cepat menghujam pada sasaran kritiknya. Efisiensi ini pula yang mengakibatkan, ketika ia telah diserap oleh museum dan pasar, harus segera menemukan artikulasi baru, atau sepenuhnya kehilangan kekritisan dan menjadi tren semata. Dalam pengertian estetik sekalipun, bagi seni seperti seni konseptual, menjadi tren telah meruntuhkan pondasi awalnya.
Apakah performance art mengalami hal yang sama?
Ketika performance art dipresentasikan dalam sebuah penampilan langsung, ada nilai aktualitas yang disasar. Sebagai gambaran, dalam menghadapi pertanyaan tentang kecenderungan menyakiti diri sendiri yang cukup luas dipraktekkan dalam performance art, saya senang memberi jawaban tentang kualitas aktual ini. Rasa sakit punya kekhasan tersendiri. Setiap kita menyaksikan langsung kesakitan, ada sensasi khas, selalu seperti pengalaman pertama. Sensasi ini begitu kuat, seolah-olah kita tidak pernah punya pengalaman apapun tentang rasa sakit sebelumnya. Dan sensasi khas dalam penampilan langsung, tidak bisa diwakilkan melalui reproduksi apapun. Dalam keadaan praktek performance art yang makin berkembang––kegiatannya makin banyak, jaringan kerjanya makin terbentuk––apakah kekuatan sensasi ini masih bisa berlaku? Umum diketahui dalam sebuah arus tren terjadi banyak peniruan dan pengulangan. Peniruan dan pengulangan dalam performance art langsung menusuk jantung kualitas aktualnya. Apalagi jika ternyata dalam keadaan ini performance art sudah dalam kondisi bisa dipanggungkan-ulang. Sementara kembali pada rasa sakit, selain resiko tergerus peniruan, pengulangan, pemanggungan-ulang, bukankah industri informasi masa kini juga banyak “menjual” kesakitan (mengingat tragedi kemanusiaan dengan cara yang sangat aneh terus-menerus terjadi diakibatkan oleh manusia sendiri)? Lalu bagaimana performance art bisa tetap istimewa?
Beranjak ke berikutnya, satu poin ditawarkan disini. Di samping kelebihan dalam menghela metoda partisipatory, performance art mengalami efek yang saya istilahkan “ketidak-terlihatan” (“invisibility”). Bisa kita ingat karya legendaris Tang Da Wu, Don’t Give Money to The Art. Pada karya ini Tang Da Wu melibatkan seluruh pengunjung pembukaan pameran, justru tanpa mereka menyadarinya. Pada saat ide ini dieksekusi karya “tidak terlihat”. Jika kita sepakat menempatkan performance art dan seni konseptual sama-sama menggugat dematerialisasi seni, maka di sini performance art menunjukan kelebihannya. Ketika melebur, seolah-olah berupa peristiwa yang wajar dan apa-adanya, ia tetap dengan sangat subtil tegas menyatakan dirinya.
Menyangkut ide-ide yang secara intensif mengeksplorasi potensi performance art sebagai peristiwa seperti ini, masalah lanjutan terlimpahkan pada para penyelenggara kegiatan performance art. Rumus umum dalam penyelenggaraan festival performance art mirip seperti karnaval pertunjukan, dimana “panggung” disediakan dan jadwal penampilan diatur agar penonton terkondisi menyaksikan penampilan demi penampilan. Ide berupa peristiwa menyeluruh seperti karya Tang Da Wu itu melampaui kemasan standar sebuah penyelenggaraan festival. Ide-ide seperti ini penting artinya karena mempertanyakan kembali format penyelenggaraan kegiatan performance art. Bahkan mungkin mempertanyakan kembali penerimaan performance art dalam seni yang sudah terlanjur dinikmati.
Namun kelebihan lain dari karya Tang Da Wu, ia menampilkan dua muka. Pertama, ketika ia tampil langsung dalam ketidak-terlihatan. Kedua, momen paska eksekusi ia tampil melalui kamera.
Tentang kamera, sejak performance art di puncak kemeriahanya di tahun 1970an, kamera telah dipandang sebagai alat dokumentasi yang makin efektif. Mengingat penyebaran kamera yang eksesif, poin lain yuang hendak dikemukakan di sini, kita patut penghargai ide-ide yang tidak lagi mendudukan kamera sebagai alat dokumentasi semata. Seperti kita lihat pengaruh media elektronik yang terus-menerus membombardir kita dengan berbagai berita tentang realitas. Hingga realitas yang kita pahami, sampai batas tertentu adalah realitas yang terkemas melalui kamera. Bisa diyakini cara kita memandang realitas terpengaruh juga. Di samping itu, kehadiran langsung juga menjadi nisbi diakibatkan kecanggihan kamera.
Tantangan itu
Indonesia International Performance Art Event 2006, mencoba memetakan poin-poin masalah terkini dalam perkembangan performance art dan menawarkannya pada performance artist, agar kita bisa bersama-sama meramu signifikansi performance art dalam sebuah kegiatan bersama.
Pertama, menyangkut ihwal politik dalam pengertian makro. Bisakah kita menganggap partisipasi itu telah menjadi sebentuk kesadaran yang berkembang? Sebagian diantara kita masih ada yang kurang beruntung hidup dibawah rejim opresif. Seni seperti performance art menjanjikan penyebaran kesadaran. Seni bisa saja tidak penting lagi untuk dikenali sebagai seni. Dalam pengertian ini, kerelaan seorang seniman untuk meleburkan dirinya dalam kerja komunitas, mengembangkan metoda partisipasi dan akhirnya menghasilkan ungkapan-ungkapan baru, patut kita hargai: di samping keampuhannya mengembangkan kesadaran, ungkapan-ungkapan baru ini dihargai sebagai sumbangsihnya pada seni.
Pada kasus lain, keruntuhan rejim opresif menyediakan peluang kebebasan berekspresi. Walaupun seperti halnya kasus Indonesia ketika telah hadir ancaman lain, namun seperti direpresentasikan oleh media massa, kebebasan berpendapat sudah lebih baik. Performance art sebagai “seni yang terbuka” sudah sepatutnya mampu terus menemukan cara untuk menempatkan dirinya di tengah berbagai praktek sosial, termasuk praktek seni itu sendiri. Patut dihargai ide-ide yang merumuskan terus hubungan seni dengan kehidupan. Bisa jadi, pada ide-ide ini eksekusinya tidak akan pernah bisa ditampung dalam format sebuah kegiatan seni, melainkan reproduksinya semata. Dengan begitu, ruang-ruang seni dikondisikan untuk tetap terbuka dan tidak steril.
Kedua, mengingat performance art itu sendiri sebagai idiom. Performance art ditempatkan sebagai “seni yang menyoal politisasi penampilan itu sendiri”. Telah disebutkan sebelumnya, dalam sebuah kegiatan khusus performance art selalu terdapat semacam panggung, yaitu satu spot di mana karya dipresentasikan terikat pada ruang dan waktu tersebut. Pada saat kegiatan berlangsung, ruang akan dihuni oleh pemirsa. Merekalah publik pada saat itu. Performance artist tampil menghadapi publik tersebut secara langsung. Performance artist selalu berstrategi menarik perhatian publik pada dirinya, membuat kehadirannya menjadi signifikan. Artinya, performance artist juga menyadari kehadiran publik. Masing-masing saling menyadari kehadiran. Karya performance yang baik adalah karya yang berhasil memukau publik. Publik berhasil dipersuasi untuk mengamati tiap rinci. Sebaliknya, publik akan menuntut keunikan peristiwa yang membuatnya mau memperhatikan peristiwa tersebut rinci demi rinci. Dalam situasi seperti ini, patut dihargai keberhasilan mengkonstruksi terjadinya peristiwa yang unik dan berkesan mendalam––dalam pengertian kesan yang bisa bergaung di masa datang, di ruang yang lain. Batasan ruang–waktu tersebut dihela sebisa-bisanya.
Poin ketiga secara sederhana mulai dari pertanyaan, akankah peristiwa unik tersebut berakhir hanya dalam ingatan orang-orang yang hadir saat itu? Bagaimana halnya dengan mereka yang tidak hadir pada saat itu?
Ini era teknologi reproduksi. Tampaknya segala hal didokumentasi, digandakan, dan bisa disebar-luaskan. Dari mulai hal-hal monumental: pelantikan presiden, sidang DPR, pengadilan, wisuda, pernikahan, kelahiran, kematian, dll; hingga hal-hal elementer: rambut panjang, baju baru, kabel, gorden, daun jendela warna hijau, dll. Menyangkut seni, semua hal bisa dianggap penting dan karenanya harus direkam dengan baik.
Performance art, karena berupa peristiwa, maka satu-satunya cara agar ia bisa diakses di masa datang adalah melalui dokumentasi. Namun, kamera dipahami tidak lagi berupa alat dokumentasi, melainkan locus masalahnya. Jika menyangkut kehadiran, bisakah kamera dipandang sebagai publik di masa akan datang? Si performance artist menghadirkan dirinya melalui kamera. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang juga mengeksplorasi batas-batas kemampuan si kamera, dalam hubungannya dengan tubuh, diri, identitas, peristiwa, ruang-waktu.
Bandung, Juni 2006

No comments: